Jejal
(Karya Isi Kerang)
Kau sangat Rodra
Melebihi penjajah negeri ini
Merampas Harsa
Membuat manusia Mala
Tak perlu waktu lama
Kau Adam Karam kan ribuan Jiwa
Memberi banyak nestapa
Menindas kaum tak berdosa
Saban Waktu,
Tak hentinya mengguncang Buana
Memang, Dirimu tentara sang Pencipta
Semoga kehadiran mu tak Selaksa
Maroko, 14 Mei 2020
Isi KerangHening dan yang pening -
Orang-orang gamang
Lalu orang-orang yang di ambang
Mau berlutut, jalanan sepi
Kedai di pojok kota pun gigit jari
Mei dirayakan dengan sembunyi
Aku naik kereta tak juga sampai
Aku mengelak tak jua damai
Ramai-ramai tak lagi lazim
Senang tidak senang harus takzim
Tangan-tangan mengambang tak ada yang menyambut
Lantas yang makan dan yang tidak adalah fakta kusut
Tempat ibadah tutup sampai berdebu
Orang-orang tak lagi singgah,
Moga-moga Tuhan mau paham
Gawai yang beritanya simpang siur
Yang benar dan yang burung
Yang dihadapi tidak hanya virus tapi juga kebodohan
Bumi ini makin resah
Wabah-wabah tak juga sudah
Giliran tangan yang menengadah
Melvin Levina (nama pena: viemstora)
Behind Co Ro Na
Karya Tiara Nabila
Resah, susah.
Lumpuh semua! Gerak terikat.
Hadapi musuh yang bahkan tak nampak
Tangis, sedih, duka
Gusar, muram, mencekam
Manusia dibuat-Nya tak berdaya.
Corona...
Ko¹ buka mata kita
Rontoklah sombong dan congkak
Nasib pun tak terelak
Akuilah! Kita memang tak kuasa.
Menangis miris
Berdoa kami pada Tuhan
Tuk para pejuang garda terdepan
Agar keselamatan bersamanya.
Inilah ujian kemanusiaan, dari Tuhan semesta alam.
Bukti kasih sayang Tuhan
"Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan."²
Corona sebagai pembelajaran
Badai biar reda, kita berusaha
Tetap dirumah saja
Melawan si corona
Note :
1. Ko = Kau
2. Qs. As-sharh 94:6
Tiara Nabila
Resah Belenggu Semesta
Kini semesta sedang adikara
membungkam laku angkara
menikam jiwa-jiwa cendala
membelenggu makhluk dunia
Ia hanya kirimkan satu tentara
tak berperawakan gagah perkasa
namun meluas bagai samudera
berterbangan bersama kelabunya mega
Dunia diselimuti besuta jeri
hanya karena sebuah pandemi
semua seakan mati
bagai terkena badi
Riuhnya kota menjadi sunyi
jalanan desa penuh mara
tak ada wajah berseri
yang ada hanya nestapa
Tak ada yang inginkan ini semua
dibuat aksa oleh semesta
dicengkram kuku para reksa
dibui di hunian kita
Kami ingin keluar nikmati udara
tanpa riskan dihantui rasa derita
sayap kami sudah ingin melangkah
namun kami tak punya rasa berakah
yang kami bisa hanya menanti
meski itu tak pasti
menunggu, menunggu, dan menunggu
hingga kami berubah jadi Jatayu
Berterbangan ke luasnya buana
bercengkrama bagai sediakala
tak merasa riskan terhadap apapun
bebas memilih jalan kemanapun
Kini harapan ingin kembali seperti dulu
lagi
bebas melangkah tanpa harus diperintah
bagai burung yang melayang tanpa ada rasa
jeri
bagai daun jatuh yang tak mengenal kata
pepatah
Redy Maulana, Bandung 15 Mei 2020
Yang kelam surut Yang terang Terbit
Bad tertiup anggainya Tuhan—menyeru berkata "Turunlah
ke bumi!"
Bak gelombang air dalam angkuhnya manusia—berteriak berkata
"Aku berdiri sendiri!"
Di bawah air bad tepat di bibir mata—mereka datang berseru
"Sadarlah manusia!"
Disisih sebagai antah tak merasa salah—dengan sombongnya
berkata "Aku manusia!"
Satu kisah tak menyurutkan
Dua kisah tak mengajarkan
Tiga kisah hingga menyadarkan
Manusia denga nyawa ikan
Terkulai tak berdaya—hingga putus asa "Aku
teraniaya"
Terkunyah di batu—hingga lihat bulu "Aku layu"
Terpenjara belikat—hingga sendiri terikat "Aku
sekarat"
Terjerembap hati—hingga tak sampai "Aku mati"
Yang kelam surut yang terang terbit
Yang acuh tak lagi yang baik merajai
Yang sakit larut yang sembuh bangkit
Yang angkuh pergi yang sadar di sini
Hanya dengan yang tak terlihat kita rehat
Hanya dengan yang tak terlihat kita erat
Hanya dengan yang tak terlihat kita dekat
Hanya dengan yang tak terlihat kita taat
Suatu saat yang panjang tungkai hitam menderu—anggai Tuhan
"Hilanglah dari bumi!"
Tak lagi gelombang suaranya dinikmati—orang baik berkata
"Berdiri sama tinggi"
Yang tak terlihat mengajarkan hingga menyadarkan—anggai
Tuhan "Kembali ihsan"
Tak lagi berpangku tangan berjabat tangan menguatkan—kami
berseru "Corona memanusiakan"
Cipatik, 14 Mei 2020
Penjajah Si Penjelajah
(Karya : Malla)
Padika di pagi hari
Melantunkan melodi yang begitu sunyi
Dentuman lesung pertanda terbit tak lama lagi
Seolah relung jiwa bergema menyusuri bumi
Jutaan manusia resah tak terarah
Kabar duka yang melanda dunia
Seketika merenggut nyawa yang tak bersalah
Gugur!
Satu persatu
Meluruh tak teratur
Gundah!
Malapetaka
Seolah membinasakan segala
Saban hari
Kaki ini tak ku ajak lari
Tertahan oleh duri tajam yang kini telah menjadi pandemi
Tuhan,
Segeralah Kau lecutkan anak panah
Agar musnah sudah Si penjajah
Bersabarlah,
Semua kan pasti terselip hikmah
Komalasari.
Suara dI sini
(Salsa Gita Bornifa Then - SMAN 1 Lembang)
Ruh terpatri kembali pada tubuh.
Hembusan nafas terasa memburu
Tuhan ternyata masih beri kesempatan
Untuk terbangun kemudian.
Lantas bagaimana dengan tindakan?
Senyum kali ini, merobek bibir.
Hari-hari terlewati dengan mengunci diri,
Tak ada pertemuan, tiada perjamuan.
Tapi ada bahagia di pojokan hati,
Diam-diam, ia berusaha mengambil alih
Keseluruhannya, dari hati.
Senyum hari ini, merobek bibir.
Di luar, jalanan sepi.
Hanya gemuruh kendaraan,
Atau kicauan berita yang tak karuan.
Orang-orang ikut mengunci diri juga.
Tidak menarik lagi membahas penyakit,
Orang-orang sibuk menjadi penyair,
Membahas syair, musik, nyanyian,
Lalu hal-hal yang tak begitu penting.
Aku terkekeh geli melihatnya.
Kadang aku ikut-ikutan hal itu,
Mungkin dipaksa atau terpaksa.
Tawaku meledak tak kendali kemudian.
Bibirku robek oleh tawa kali ini.
Kini seluruh rumah peribadatan sepi.
Tak ada yang berani lagi,
Mungkin cukup manusiawi.
Tuhan mungkin mengerti,
Bahwasanya manusia hendaknya berdiam
Atau berdoa dalam heningnya
Sambil mengingat Tuhannya.
Aku terkekeh lagi,
Kali ini hatiku tergelitik.
Betapa lucunya manusia yang berdoa
Tapi tujuan mereka untuk dunia.
Senyum dan tawa berhasil merobek bibirku yang kian menipis dalam menyebut nama-Mu, Tuhanku.
(Lembang, April 2020)
Hembusan nafas terasa memburu
Tuhan ternyata masih beri kesempatan
Untuk terbangun kemudian.
Lantas bagaimana dengan tindakan?
Senyum kali ini, merobek bibir.
Hari-hari terlewati dengan mengunci diri,
Tak ada pertemuan, tiada perjamuan.
Tapi ada bahagia di pojokan hati,
Diam-diam, ia berusaha mengambil alih
Keseluruhannya, dari hati.
Senyum hari ini, merobek bibir.
Di luar, jalanan sepi.
Hanya gemuruh kendaraan,
Atau kicauan berita yang tak karuan.
Orang-orang ikut mengunci diri juga.
Tidak menarik lagi membahas penyakit,
Orang-orang sibuk menjadi penyair,
Membahas syair, musik, nyanyian,
Lalu hal-hal yang tak begitu penting.
Aku terkekeh geli melihatnya.
Kadang aku ikut-ikutan hal itu,
Mungkin dipaksa atau terpaksa.
Tawaku meledak tak kendali kemudian.
Bibirku robek oleh tawa kali ini.
Kini seluruh rumah peribadatan sepi.
Tak ada yang berani lagi,
Mungkin cukup manusiawi.
Tuhan mungkin mengerti,
Bahwasanya manusia hendaknya berdiam
Atau berdoa dalam heningnya
Sambil mengingat Tuhannya.
Aku terkekeh lagi,
Kali ini hatiku tergelitik.
Betapa lucunya manusia yang berdoa
Tapi tujuan mereka untuk dunia.
Senyum dan tawa berhasil merobek bibirku yang kian menipis dalam menyebut nama-Mu, Tuhanku.
(Lembang, April 2020)